Jumat, 17 Mei 2013

Peradaban Lembah Sungai Indus






      Peradaban Lembah Sungai Indus, 2800 SM–1800 SM, merupakan sebuah peradaban kuno yang hidup sepanjang Sungai Indus dan Sungai Ghaggar-Hakra yang sekarang Pakistan dan India Barat. Peradaban ini sering juga disebut sebagai Peradaban Harappan Lembah Indus, karena kota penggalian pertamanya disebut Harappa, atau juga Peradaban Indus Sarasvati karena Sungai Sarasvati yang mungkin kering pada akhir 1900 SM. Panjang Sungai Indus kurang lebih 2900 kilometer. Pemusatan terbesar dari Lembah Indus berada di timur Indus, dekat wilayah yang dulunya merupakan Sungai Sarasvati kuno yang pernah mengalir.[1] Sisa peradaban Lembah Sungai Indus ditemukan peninggalannya di dua kota, yaitu Mohenjodaro dan Harappa. Kebudayaan Indus ini didukung oleh bangsa Dravida yang berbadan pendek, berhidung pesek, berkulit hitam, berambut keriting. Kebudayaan Indus berhasil diteliti oleh seorang arkeolog Inggris, Sir John Marshal, yang dibantu Banerji (orang India).[2]


      Mata pencaharian bangsa Dravida adalah bercocok tanam, yang dibuktikan dengan ditemukannya cangkul, kapak, dan patung Dewi Ibu yang dianggap lambang kesuburan. Hasil pertanian berupa gandum dan kapas. Sudah ada saluran irigasi untuk mencegah banjir serta untuk pengairan sawah-sawah rakyat. Dalam perdagangan terlihat adanya hubungan dengan Sumeria di Lembah Eufrat dan Tigris, yang diperdagangkan adalah keramik dan permata.


     Perkembangan kepercayaan Lembah Sungai Indus. Masyarakat Lembah Sungai Indus telah mengenal cara penguburan jenazah, tetapi, hal ini disesuaikan dengan tradisi suku bangsanya. Di Mohenjodaro contohnya, masyarakatnya melakukan pembakaran jenazah. Asumsi ini didapat karena pada letak penggalian Kota Mohenjodaro tidak terdapat kuburan. Jenazah yang sudah dibakar, lalu abu jenazahnya dimasukkan ke dalam tempayan khusus. Namun ada kalanya, tulang-tulang yang tidak dibakar, disimpan di tempayan pula. Objek yang paling umum dipuja pada masa ini adalah tokoh “Mother Goddess”, yaitu tokoh semacam Ibu Pertiwi yang banyak dipuja orang di daerah Asia Kecil. Mother Goddess digambarkan pada banyak lukisan kecil pada periuk belanga, materai, dan jimat-jimat. Dewi-dewi yang lain nampaknya juga digambarkan dengan tokoh bertanduk, yang terpadu dengan pohon suci pipala. Ada juga seorang dewa yang bermuka 3 dan bertanduk. Lukisannya terdapat pada salah satu materai batu dengan sikap duduk dikelilingi binatang. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya gambar lingga yang merupakan lambang Dewa Siwa. Namun, kita juga tidak dapat memastikan, apakah wujud pada materai tersebut menjadi objek pemujaan atau tidak. Meskipun demikian, dengan adanya bentuk hewan lembu jantan tersebut, pada masa kemudian, bentuk hewan seperti ini dikenal sebagai Nandi, yaitu hewan tunggangan Dewa Siwa.Sudah mengenal sistim kepercayaan menyembah banyak dewa (politeisme) serta segala sesuatu yang dianggap keramat. Contohnya adalah pohon pipal dan beringin yang oleh umat Buddha dianggap pohon suci, binatang yang dipuja adalah gajah dan buaya.

      Kita tidak tahu banyak tentang peradapan Lembah Indus. Namun, patung-patung para dewi yang dibuat pada zamannya memberi kesan bahwa orang-orang Lembah Indus sangat menekankan pentingnya kesuburan wanita. Beberapa dewa dan dewi Hindu, seperti Shiva, mungkin merupakan keturunan dari para dewi yang hidup pada zaman sebelumnya.[3]

A. Periodisasi Sejarah Agama Hindu

Agama Weda

      Agama Weda dapat dikatakan suatu agama alam. Artinya, didalam mendekati dan menyelami hal kedewaan, agama itu sangat mengarahkan pandangannya kepada alam. Berbagai dewa dianggap identik dengan gejala-gejala alam.

     Zaman Weda, merupakan zaman sejak masuknya bangsa Arya di Punjab hingga timbulnya agama Budhha pada kira-kira tahun 500 SM. Zaman ini dapat dibagi lagi menurut pertumbuhan kitab-kitab yang menjadi sumber hidup keagamaan pada zaman ini, menjadi :

a. Zaman Weda purba atau zaman Weda Samhita, dimulai dari tahun 1500 SM hingga kira-kira tahun 1000 SM.   Pada zaman ini bangsa Arya massih berada di Punyab, yaitu daerah Sungai Indus atau Sindhu. Di sini belum banyak terdapat penyesuaian diri dengan peradaban India purba.

b. Zaman Brahmana, kira-kira tahun 1000 SM hingga kira-kira tahun 750 SM. Pada zaman ini para imam, yaitu para Brahmana, sangat berkuasa dan menimbulkan kitab-kitab yang berlainan sekali sifatnya dibandingkan dengan kitab-kitab Weda Samhita. Sekarang penyesuaian diri dengan peradaban India purba sudah lebih maju, sehingga timbul jiwa baru.

c. Zaman Upanisad, tahun 750 SM hingga tahun 500 SM. Pada zaman ini pemikiran secara falsafah mulai berkembang. Pusat peradaban berpindah dari Punyab ke Lembah Gangga.
Pada zaman ini kehidupan keagamaan orang Hindu didasarkan atas kitab-kitab yang disebut Weda Samhita, yang berarti perkumpulan Weda.

      Kata Weda berarti pengetahuan (Wid = tahu). Menurut tradisi Hindu kitab-kitab ini adalah ciptaan Dewa Brahma sendiri. Isinya diwahyukan oleh Dewa Brahma kepada para resi atau para pendeta dalam bentuk mantra-mantra, yang kemudian disusun sebagaian puji-pujian oleh para resi tadi sebagai pernyataan rasa hatinya.
Unsure-unsur dasar agama Weda :
1. Percaya dan takut kepada daya-daya kekuasaan
2. Ritus untuk mempengaruhi daya-daya kekuasaan
3. Kesadaran akan adanya tata tertib kosmos
4. Kecenderungan kepada mistik

     Sejak zaman dahulu orang memberi penghargaan yang istimewa terhadap pengasingan diri untuk bermeditasi (bersemadi). Pengetahuan yang didapat orang dari meditasi, dianggap sesuatu yang lebih tinggi dari pada pengetahuan yang dicapai dengan akal. “Meleburkan diri dalam daya-daya kekuasaan dan menjadi satu dengan daya-daya kekuasaan tersebut” diusahakan dengan bermacam-macam cara. Maka disebutlah “orang yang tajam tiliknya para rsi, yang dengan jalan demikian dapat mengetahui rahasia-rahasia Dunia, hidup, dan rahasia-rahasia ritus persembahan.[4]

    Sebagai wahyu dewa yang tertinggi, maka Weda-weda itu disebut sruti, yang secara harfiah berarti apa yang didengar, yaitu didengar dewa yang tertinggi. Orang Hindu yakin, bahwa Kitab-kitab Weda adalah napas Tuhan, kebenaran yang kekal, yang dinyatakan atau diwahyukan oleh Tuhan kepada para resi. Para resi tadi melihat atau mendengar kebenaran itu. Bentuk yang diwahyukan tadi adalah mantra-mantra.

Sesudah dibukukan, mantra-mantra itu dibagi menjadi 4 bagian atau pengumpulan (samhita), yaitu :

a. Rg-Weda, berasal dari kata “Rig” yang berarti memuji kitab ini berisi 1000 puji-pujian kepada para Dewa dalam bentuk kidung, dan masing-masing kidung (sukta) terbagi lagi dalam beberapa bait . Rg-Weda berisi mantra-mantra dalam bentuk puji-pujian, yang digunakan untuk mengundang para dewa, agar berkenan hadir pada upacara-upacara kurban yang akan diadakan bagi mereka. Imam-imam atau pendeta yang mengadakan puji-pujian ini disebut Hort.

b. Sama-Weda, hampir seluruh isinya diambil dari Rg-Weda, kecuali beberapa nyanyian. Perbedaannya dengan Rg-Weda ialah puji-pujian di sini diberi lagu (Sama = lagu).imam atau pendeta yang menyanyikan Sama-Weda disebut Udgatr. Menyanyikannya pada waktu kurban dipersembahkan.

c. Yajur-Weda, berisi yajus atau rapal, diucapkan oleh imam atau pendeta yang disebut Aswarya, yaitu pada saat ia melaksanakan upacara kurban. Rapal-rapal itu bukan dipakai untuk memuja para dewa, melainkan untuk mengubah kurban-kurban menjadi makanan dewa. Dengan perantara rapal-rapal itu kurban serta bahan-bahan yang dikurbankan dengan para dewa, dengan maksud supaya kurban tadi dapat diterima. Dapat dikatakan bahwa denagn rapal-rapal itu sebenarnya para dewata dipakai untuk memenuhi keinginan yang berkurban. Dengan rapal-rapal itu mereka mencoba mempengaruhi para dewa, dengan berulang-ulang menyebut nama mereka.

d. Atharwa-Weda, berisi mantra-mantra sakti. Mantra-mantra ini dihubungkan dengan hidup keagamaan yang rendah, seperti tampak di dalam sihir dan tenung. Isi sihir-sihir tadi dimaksudkan untuk menyembuhan orang sakit, mengusir roh jahat, mencelakakan musuh dan sebagainya. Upacaranya bukan diadakan untuk kurban, melainkan diadakan di rumah.

    Mula-mula kitab ini tidak diakui sebagai Kitab Suci, namun lama-kelamaan diakui juga, sebab kepercayaan rakyat terhadap kitab ini sangat kuat. Selain itu banyak raja yang mengambil pendeta-pendeta dari golongan ini sebagai pendeta pribadinya.[5]

Dengan ringkas kita melihat di dalam agama Weda hal-hal seperti berikut :

a. Agama Weda tidak dapat di pahami selain sebagai reaksi manusia terhadap pernyataan Allah, baik terhadap pernyataan di dalam karya Allah, maupun di dalam syariat hukum taurat yang tertulis di dalam hati manusia (Rm 1 dan 2). Tetapi itupun suatu reaksi, di mana kelainan manusia berusaha untuk menindas kebenaran. Agama Weda adalah suatu daya upaya manusia yang jatuh ke dalam dosa untuk menghindarkan diri dari hukum Allah.

b. Di dalam agama Weda orang berdaya upaya untuk mendekati dewa-dewa melalui dua jalan : physis dan etis. Melalui garis physis yang ditentukan oleh pertentangan Indra – Vrta, dewa – sura, Arya – Dashu, kosmos – chaos. Dan orang berusaha juga mendekati dewa melalui garis rtik, yang ditetapkan oleh pertentangan : Waruna, penjaga “rta” – dosa manusia. Kedua aspek dewa itu tidak dilihat sebagai satu hal, tetapi keduanya selalu berlawanan. Indra dan Waruna berperang mati-matian. Dalam peperangan itu Indra menang, artinya bahwa garis etik harus kalah di dalam agama Weda.

c. Kebimbangan terhadap pertanyaan haruskah dewa dipandang sebagai pribadi ataukah sebagai suatu daya kekuatan, tetap ada selama masa itu.

d. Oleh karena Waruna terdesak ke samping agama Weda makin menggeser de dalam suasana egoisme. Agama menjadi suatu daya upaya untuk merebut daya-daya kekuatan yang tersimpan di dalam kosmos dengan persembahan dan mantera dan menggunakan daya-daya itu untuk kepentingan-kepentingan egoistis.

e. Perkembangan agama Weda berlangsung melalui dua garis. Yang pertama adalah garis spekulasi falsafi (renunagan falsafi). Timbullah skeptisisme (kesangsian) terhadap dewa-dewa yang lama dan orang berbalik kepada suatu zzat ilahi yang universal dan mujarad (abstrak) sebagai zat segala zat. Inilah garis pantheistis (pantheisme ialah ajaran bahwa segala-galanya merupakan penjelmaan Tuhan) yang terutama kelihatan jelas di dalam berkas kesepuluh dari reg-Weda. Garis yang kedua ialah garis dekadensi (kemunduran) kepada magi. Tiap-tiap perbuatan persembahan dianggap sebagai berkekuatan magis. Orang brahmana menjadi ahli sihir. Hal ini terutama ternyata didalam ajur weda dan di dalam antharwa-weda.

f. Dipandang dari sudut kepercayaan kita, maka kita hanya dapat mengkonstatir bahea di dalam agama weda manusia melarikan diri dari kekudusan Tuhan, manusia menundukan kemuliaan tuhan ke alam insani.Tuhan di samakan atau diidentifikasikan dengan daya kekuatan yang tinggal di dalam makhluk, atau di buat kabur menjadi suatu pengertian falsafi. Dengan demikian ia dilukiskan sebagai dzat yang terdalam, inti segala yang ada.[6]

g. Di dalam agama hindu ada beberapa pengertian yang kaitannya dengan kepercayaan, yaitu pengertian tentang Rta. Yang dimaksud dengan pengertian Rta artinya ‘pergi’ kemudian berubah dalam arti tata- tertib’. Di dalam kitab Weda kata Rta berarti tata tertin alam kosmos, yang dianggap sebagai pencerminan dari adanya daya kekuatan dan daya kekuasaan yang menciptakan dan mengaturnya. Kita lihat peredaran tata-surya, matahari, bulan dan bintang yang tetap teratur. Hal ini berlaku tertin karena ditetapkan dan diatur oleh Dewa Waruna, yaitu Dewa yang tertinggi, Yang Maha Pencipta, dalam hal ini disebut Rtawan.

     Oleh karena manusia adalah bagian dari alam semesta, maka manusia harus juga tunduk kepada Rta. Dengan ia tunduk kepada Rta maka manusia akan mencapai kehidupan yang harmonis, baik sesame manusia, baik dengan alam lingkungan dan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi apabila manusia mengikuti Rta, maka apa yang dirasakan, didengar dan dilihat akan di tanggapi sebagai sesuatu yang indah manis dan nikmat. Bagi umat Hindu Rta terserap dalam Satya (kebenaran) bersama dengan Dharma sehingga merupakan suatu keyakinan yang penting. Oleh karena Rta adalah pencerminan dari daya kekuatan dan daya kekutan itu adalah Dewa Waruna, maka keberlangsungannya harus dijaga. Untuk itu perlu adanya ritus, dan dengan dilaksanakannya ritus maka Rta akan tetapn berjalan dengan tertib dan teratur. Oleh karenannya manusia janganlah berbuat dosa, karena berbuat dosa berarti melanggar Rta dan berarti menentang kekuasaan Tuhan.[7]

1. Dewa-Dewa
      Dewa dalam Hinduisme membuat agama ini menjadi agama yang penuh dengan keindahan.[8] Di dalam kitab Weda Samhita terdapat dua golongan yang kedudukannya lebih tinggi dari manusia yaitu : Dewa-dewa pemurah  terhadap manusia dan menerima pujaan manusia, dan para roh jahat yang memusuhi manusia.
      Kitab Rg-Weda menyebutkan adanya 33 dewata, yang dapat dibeda-bedakan atas dewa-dewa langit, dewa-dewa angkasa, dan dewa-dewa bumi.


Agni (Dewa api)
Aswin kembar (Dewa pengobatan, putera Dewa Surya)
Brahma (Dewa pencipta, Dewa pengetahuan, dan kebijaksanaan)
Chandra (Dewa bulan)
Durgha (Dewi pelebur, istri Dewa Siva)
Ganesha (Dewa pengetahuan, Dewa kebijaksanaan, putera Dewa Siva)
Indra (Dewa hujan, Dewa perang, raja surga)
Kuwera / Kubera (Dewa kekayaan)
Laksmi (Dewi kemakmuran, Dewi kesuburan, istri Dewa Visnu)
Saraswati (Dewi pengetahuan, istri Dewa Brahmā)
Shiwa (Dewa pelebur)
Sri (Dewi pangan)
Surya (Dewa matahari)
Waruna (Dewa air, Dewa laut dan samudra)
Wayu / Bayu (Dewa angin)
Wisnu (Dewa pemelihara, Dewa air)
Rudra (Dewa badai)
Dhara (Dewa Bumi)
Anala (Dewa Api)
Anila (Dewa angin)
Dhruva (Dewa bintang kutub)
Soma (bulan)
Prabhasa (Dewa fajar)
Pratyusa (Dewa sinar)
Dattatreya
Savitr
Yama (Dewa kematian)
Satya (Dewa kebenaran)
Kratu (Kehendak)
Daksa (Dewa keterampilan)
Kala (Waktu)
Kama (Keinginan)
Dhrti (Dewa kesabaran)
Pururavas (Dewa atmosfir)
Madravas (Dewa kegembiraan)

    Vasu merupakan sekelompok Devata yang jumlahnya delapan, terutama dikenal sebagai pengiring Indra. Kata Vasu diambil dari akar kata ‘vas’ (bertempat tingal, menyebabkan bertempat tinggal, bersinar) sehingga vasu merupakan devata yang menyatakan segala wilayah luas atau ruang dan ketinggian.
Delapan vasu tersebut adalah : Dhara, Anala, Ap, Anila, Anala, Dhruva, Soma, Prabhasa, Pratyusa.

    Karena karya Waruna inilah maka langit dan bumi dipisahkan, pelajaran matahari, bulan, dan bintang teratur, sungai-sungai mengalir dengan baik, musim-musim datang pada waktunya dan sebagainya. Selain itu Rta juga dipandang sebagai tata tertib susila. Sebagai pengawas rta, Waruna juga memberikan hadiah atau pahala kepada yang baik dan menghukum kepada yang jahat. Orang yang baik ialah orang yang mengikuti hukum Rta. 

    Dewa yang lain ialah Surya, yang digambarkan sedang berkereta ditarik oleh 7 ekor kuda. Dewa ini dapat memperpanjang hidup, mengusir penyakit dan sebagainya.

    Dewa Wisnu juga termasuk dewa langit, tetapi pada zaman ini belum memegang peranan yang penting. Tentang dewa ini hanya disebutkan, bahwa ia melangkahkan tiga langkah. Langkah yang ketiga itulah langkah yang tertinggi. Itulah sorga tempat kediaman para dewa-dewa.

      Yang termasuk dewa-dewa angkasa di antaranya adalah Indra, yang merupakan dewa terpenting. Seperempat kidung dalam Rg-Weda ditujukan kepadanya. Indra adalah Raja para dewa ia adalah dewa hujan yang bersenjatakan petir, dewa langit pengumpul awan dan dewa kemenangan. Ia juga bernama Surapati (sebagai raja para dewa), Vrtahan (sebagai dewa hujan yang membunuh naga Vrta yang menyembunyikan air dalam gua selam musim kemarau). Indra sering diletuskan secara antropomorfis : mempunyai tubuh, tangan, kaki, bibir, rahang, dan jenggot. Indra diyakini sebagai dewa yang selalu melepaskan air yang member hidup yang kemudian mengalir kesamudra dan dalam perjalanannya selalu memperkaya dan mempersubur bumi.

    Setelah Indra dewa yang terpenting adalah Agni yang dianggap sebagai perantara dewa dan manusia. Dewa inilah yang meneruskan puji-pujian dan kurban bakar kepada para dewa yang dimaksud, Agni pula yang mendatangkan para dewa ketempat-tempat sesaji dengan bunyi-bunyian dalam arti. Setiap rumah orang Hindu biasanya mempunyai tiga macam api yaitu : untuk upacara harian (agnihotra) dan sampai saat ini masih terdapat dikalangan keluarga Pandit yang ortodoks ; api untuk upacara tengah bulanan yang dikaitkan dengan bulan baru atau bulan purnama dan api untuk upacara penghormatan dan pemujaan arwah leluhur. Mengenai upacara-upacara masih ada lagi upacara yang dilakukan empat bulan sekali upacara lainnya adalah upacara pengangkatan Altar api yang disebut dengan Agnicayana, biasanya dilakukan menggunakan sebongkah batu yang berbentuk seekor burung.[10]

     Selanjutnya dewa yang terpenting setelah agni adalah Soma, dewa minuman keras, yang diperoleh dari perasan tumbuh-tumbuhan yang disebut Soma pula. Soma adalah minuman para dewa. Dalam upacara korban Soma dituangkan sebagai persembahan kepada para dewa. Hal yang agak aneh ialah rasa hormat yang luar biasa bukannya ditujukan kepada objek kritus itu sendiri tetapi hanya kepada kekuatan Soma itu saja. Cairan sari tanaman Soma sangan memabukkan dan digunakan untuk memperdaya dewa, orang-orang yang memujanya meminum cairan ini. Karena minuman ini sangat memabukkan maka tentu akan mempegaruhi pandangan orang yang terlibat dalam upacara. Dalam berkembangan selanjuttnya Soma bukan hanya disamakan sebagai kekuatan saja, tetapi kemudian menjadi personifikasi dari bulan yang selanjutnya diidentikkan dengan dewa Waruna yang berkuasa di sorga. Bulan adalah tempat cairan soma yang dianggap sacral dan kebeningannya yang indah berkilau karena sinar sorga dianggap sebagai sari penting dari raja langit.

      Dewa penting setelah agni adalah Waruna atau Aditya, putra Adity, dewi kebaikan. Berkat kerja Waruna maka langit, matahari, bulan dan bintang dalam tata surya dapat bekerja dengan baik dan sebagaimana mestinya. Sungai-sungai mengalir dan musim silih berganti selaras dengan cosmos (alam) lain oleh karena itu dosa adalah menyalahi tata tertib cosmos, dan agar kembali normal perlu dilakukan sesembahan kurban dan sesaji.[11]

    Sesudah dewa Waruna, ada beberapa dewa lain yang masing-masing kurang jelas urutan kepentingannya. Dewa-dewa tersebut adalah Surya (dewa matahari), Wisnu, si kembar Aswin atau Nasatya (dewa alam pagi hari) yang kemudian menjadi dewa kesehatan, Usas (dianggap sebagai dewa fajar), Merut (dewa taufan dan angin rebut), Rudra (dewa taufan dan petir), Parjanya (dewa hujan), dan Saraswati (dewa sungai yang kemudian dianggap sebagai dewi ilmu pengetahuan). Dewa-dewa penting sebagai personifikasi kekuatan alam adalah dewa Prajapati (penguasa alam dan segala makhluk), Wiswakarman (dewa pencipta), Brhamanaspati atau Braspati (dewa personifikasi pembuatan manusia alam sesaji), Widhatar (dewa guntur). 

   Sekalipun dalam agama ini didapati banyak sekali dewa, namun ia tidak dapat dikatakan politeistis karena ternyata dewa tertentu yang sedang dipuja selalu dianggap sebagai dewa tertinggi yang memiliki segala kekuatan para dewa yang lain. Dengan demikian yang ada hanya satu dewa tertinggi saja yang memiliki kekuatan para dewa, yang namanya berganti-ganti. Oleh karena itu barangkali lebih tepat kalau dikatakan sebagai kepercayaan henoteistik (henoteisme). Max Miller juga menghindari istilah monoteisme atau politeisme dalam ketuhanan agama Hindu. Ia menggunakan istilah “henoteisme” karena ada kecenderungan melukiskan semua kekuatan pada tuhan tertentu dan utama yang ada dalam pikiran para pemujanya. Selain dapat disebut sebagai kepercayaan yang Lenoteistik, barang kali agama ini dapat pula disebut sebagai katenoteistik (kathenotheism) karena dalam agama ini terdapat kecenderungan untuk memuliakan dan mengagungkan hanya satu dewa yang maha tinggi yang diperlakukan sebagai objek tunggal, akan tetapi dewa-dewa lain terhimpun kepadanya.

2. Roh-Roh (Jahat)

     Menurut kepercayaan Weda kuno, selain para dewa masih ada lagi roh-roh jahat. Roh jahat ada dua macam : yang tinggi kekuasaannya menjadi musuh para dewa. Musuh Indra adalah roh jahat yang menguasai musim kemarau (Wrta). Roh jahat yang kurang kekuasaanya adalah Raksa dan Pisaca (pemakan bangkai). Raksa sering menampakkan diri sebagai manusia dan binatang. Ada lagi roh “halus” seperti gandarwa, yaksa, bhuta, dan raksasa. 
    Arwah leluhur sangat penting kedudukannya dalam kepercayaan agama Weda ini. Apabila orang meninggal, jiwanya tidak langsung sampai di alam bahagia tetapi masih mengembara dalam keadaan menderita. Jiwa semacam ini disebut dengan preta, dan sangat membahayakan. Oleh karena itu keturunannya, anak cucu terutama anak laki-lakinya, perlu mengadakan upacara sesembahan dan menyelenggarakan upacara korban supaya preta segera sampai kealam bahagia yaitu alam pitara. Raja para pitara adalah dewa Yama.[12]

3. Korban dan Praktek Keagamaan
     Korban
     Setiap yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu adalah perwujudan dari pengamalan ajaran agama. Karena itu setiap aktivitas beryadnya termasuk dalam sebutan “upacara agama”. Dasarnya, bahwa setiap pelaksanaan yadnya didasari atas sumber hukum berupa kitab suci Weda baik dalam katagori Sruti (wahyu) maupun Smrti (tafsir wahyu).
     Weda Sruti sebagai sumber dari segala pelaksanaan ajaran agama Hindu. Sedangkan Weda Smrti merupakan penjabaran suratan Weda yang sudah disiratkan.
        Kongkretnya lagi, Weda Sruti sebagai rumus-rumus agama sementara Weda Smrti berperan selaku kamus-kamus petunjuk pelaksanaannya. Apa yang kemudian disebut sebagai upacara adat sebenarnya merupakan bentuk-bentuk tafsir ajaran Weda yang ditradisikan. Inilah yang diistilahkan sebagai tradisi Weda, artinya suatu bentuk kegiatan atau aktivitas suatu masyarakat (mis. Bali), yang berdasarkan atas ajaran agama Hindu yang sudah men-desa-kala-patra. Lebih sederhananya lagi upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali merupakan bentuk penjabaran Weda menurut nuansa tradisi. Tetap ingat, tidak semua tradisi masyarakat Bali itu dapat disebut sebagai upacara adat.
       Yang dapat disebut upacara adat hampir selalu dicirikan oleh nuansanya yang agamais. Atau dengan kata lain upacara adat itu adalah tradisi yang dijiwai oleh unsure-unsure keagamaan. Contoh : upacara ngaben, penggunaan wadah, jempana, lembu merupakan tradisi yang hanya dibuat oleh masyarakat Hindu di Bali. Sedangkan esensi keagamaannya terlihat pada upacara pembakaran mayat dengan konsep mempercepat proses pengembalian (pemralina) unsure-unsure Pancamahabutha sang mati. Unsure agama lainnya, doa, japa, mantra dan yadnya yang digelar sebagai pengantar, pengharap agar arwah sang mati mendapat jalan lapang sesuai karma dan bhaktinya menuju alam-Nya.
        Perihal bunyi kitab suci Bhagavadgita IX.26 yang meyebutkan sarana persembahan berupa bunga, buah, air dan daun yang tidak bersifat mengikat tetapi kenyataannya masih diatur lagi sehingga tidak semua jenis bunga misalnya yang dapat dipakai sarana upacara atau upakara yadnya dapat diberi penjelasan dengan membandingkan di sekala. Untuk itulah ada buku atau lontar yang menjabarkan tentang jenis bunga yang bisa dan tidak dipakai dalam persembahan. Yang pasti setiap sarana persembahan patut mengacu pada persyaratan seperti : Sukla (belum pernah diaturkan), tan leteh (tidak bernoda atau cemar), tidak didapat dari perbuatan jahat (mencuri) dan sesuai dengan sastra (petunjuk lontar) serta dresta (tradisi).[13]
      Umat Weda memulaikan para leluhur mereka dengan menyelenggarakan upacara korban, upacara korban, yang selain dilakukkan dengan harapan supaya para dewa melindungi manusia dari roh jahat, juga supaya para dewa memberikan kelancaran, kemurahan serta ketentraman. Tujuan utama upacara korban dalam agama Weda ini ialah terjaminnya tata tertib kosmos.
      Dua macam upacara korban simbolik yang penting ialah : pertama korban manusia (purusa) sebagaimana tercantum dalam kidung kosmogonik dalam kitab Rg-Weda, yang menyebutkan bahwa yang maha tinggi telah menjalani korban untuk penciptaan dan kedua adalah korban sarwameda di mana manusia mengakui ke maha kuasaan Tuhan secara universal sehingga kemudian dewa melimpahkan segala miliknya kepada seluruh manusia.[14]
    Selain itu masih ada korban Rajasanya, korban untuk pengobatan dan kedaulatan raja yang diselenggarakan dengan upacara yang disebut Aswemeda. Untuk keperluan sehari-hari korban dilakukan oleh kepala keluarga yang diselenggarakan di api keluarga. Ada pula upacara korban yang diselenggarakan di rumah-rumah atau di altar. Dari segi penyelenggaraan, korban yang dilakukan hanya oleh seorang pendeta saja dirasa kurang memuaskan. Biasanya korban diselenggarakan oleh beberapa orang pendeta. Pendeta yang sangat diutamakan biasanya disebut Hotri yang tugasnya adalah menyitir bait-bait yang terdapat dalam Rg-Weda. Pendeta Adwaryu juga penting karena dalam penyelenggaraan korban ini diperlukan persiapan-persiapan yang cermat.
Di kalangan rakyat umum terdapat beberapa upacara korban sebagai upacara siklus kehidupan. Di beberapa tempat, upacara tersebut terdiri dari satu seri upacara korban kecil dengan sesaji yang sangat sederhana seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Upacara dilakukan sendiri oleh pemilik rumah selaku penanggungjawab anggota keluarganya. Upacara ini juga mementingkan api.

Praktek Keagamaan
Yang menjadi pusat pemujaan orang-orang pada zaman ini ialah kurban. Kurban-kurban itu dipersembahkan dengan maksud untuk mendapatkan kemurahan dewa-dewa, menghindari diri dari permusuhan roh-roh yang jahat, dan memuja para leluhur.[15]
Pada hakikatnya kurban yang dipersembahkan kepada dewa-dewa itu bersifat permohonan, yaitu mohon keuntungan-keuntungan bagi hari depan, sehingga kurban ucapan syukur bagi hal-hal yang sudah dialaminya tidak ada.
Dengan kurban itu mereka bermaksud untuk menggerakkan hati para dewa sehingga mereka berkenan mengabulkan permohonan yang diajukan bersamaan dengan kurban-kurban itu.
Ada dua macam kurban, yaitu kurban tetap, yang dilakukan tiap kali, pada waktu pagi dan sore, tiap bulan baru dan bulan purnama, tiap awal musim semi, musim hujan, dan musim dingin.
Disamping itu ada kurban berkala,yang dikurbankan jika ada keperluan, umpamanya kurban sama, aswameda atau kurban kuda, rajasuya, dan sebagainya.
Kecuali kurban-kurban masih ada upacara-upacara lainnya yang harus dilakukan orang, yaitu pada waktu istri mengandung, melahirkan anak, anak berumur 4 bulan, yaitu waktu diajak berpergian untuk pertama kali, atau juga waktu anak makan yang pertama, atau waktu ia dicukur untuk yang pertama kali, dan sebagainya. Demikianlah seluruh kehidupan orang pada zaman itu diliputi oleh upacara-upacara keagamaan.[14]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar